Obon
Festival atau tradisi orang Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur. Obon dilakukan setiap tanggal 15 Agustus, tapi ada juga yang merayakannya tanggal 15 Juli.. Orang Jepang percaya bahwa roh orang yang telah mati akan mengunjungi keluarganya setiap 2 tahun sekali. Kesempatan ini juga dijadikan orang-orang untuk pulang kampung. Untuk menutup perayaan Obon biasanya orang-orang menarikan tarian Bon’odori bersama-sama.
Tanabata
Disebut juga festival bintang. Festival ini juga dilakukan di China dan Korea. Dirayakan setiap tanggal 7 Juli. Perayaan ini berkaitan dengan cerita Gadis Penenun dan Laki-laki Penggembala yang saling mencintai. Mereka diijinkan menikah oleh Raja Langit. Tapi setelah menikah mereka menjadi malas. Raja Langit memisahkan mereka. Mereka dipisahkan oleh sungai Amanogawa (galaksi Bimasakti) dan hanya dapat bertemu satu tahun sekali. Gadis Penenun berada di bintang Vega dan Laki-laki Penggembala berada di bintang Altair. Pada tanggal tersebut Bintang Altair dan vega paling mudah dilihat. Pada perayaan Tanabata, anak-anak sekolah dan pasangan yang sedang berpacaran menuliskan keinginan, harapan, dan cita-cita masa depan di atas Tanzaku (kertas persegi panjang). Tanzaku kemudian digantung di dahan-dahan pohon bambu bersama-sama dengan hiasan beraneka warna agar keinginan yang dituliskan menjadi terkabul.
Shichi-go-san
Festival untuk mendoakan anak perempuan yang genap berusia 3 dan 7 tahun serta anak laki-laki yang genap berusia 5 tahun. Saat shichi-go-san anak-anak pergi ke kuil Shintō bersama orang tuanya untuk didoakan. Festival ini dilaksanakan setiap 15 November.
Hinamatsuri
Festival anak perempuan. Diadakan setiap tanggal 3 Maret. Di rumah orang Jepang yang mempunyai anak perempuan yang masih kecil biasanya dipajang boneka pasangan pengantin (Hina ningyō). Fungsi boneka tersebut adalah sebagai tempat pembuangan kejelekan. Maksudnya, segala hal buruk yang menimpa anak perempuan diharapkan dapat berpindah ke dalam boneka tersebut.
Setsubun
Diperingati setiap 3 Februari. Saat Setsubun ada tradisi melempar kacang kedelai untuk mengusir setan. Biasanya mereka mengucapkan “Oni wa soto! Fuku wa uchi!” (Setan di luar! Kebaikan di dalam!)
Menurut penanggalan Imlek, Tango no Sekku jatuh pada tanggal 5 bulan 5 ketika Asia Timur sedang musim hujan. Orang tua yang memiliki anak laki-laki mengibarkan koinobori hingga hari Tango no Sekku untuk mendoakan agar anak laki-lakinya menjadi orang dewasa yang sukses. Setelah Jepang memakai kalender Gregorian, koinobori dikibarkan hingga Hari Anak-anak (5 Mei). Koinobori yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Kalau zaman dulu koinobori berkibar di tengah musim hujan, koinobori biasanya sekarang mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.
Satu set koinobori terdiri dari ryūdama, yaguruma, fukinagashi, dan bendera-bendera ikan koi.
- Ryūdama (bola naga)
- Bola yang bisa berputar dipasang di ujung paling atas tiang tempat mengibarkan koinobori.
- Yaguruma
- Roda berjari-jari anak panah yang dipasang di bawah ryūdama. Ryūdama dan yaguruma dipercaya sebagai pengusir arwah jahat.
- Fukiganashi
- Sarung angin berhiaskan panji-panji lima warna (biru, merah, kuning, putih, dan hitam) atau gambar ikan koi. Fukinagashi melambangkan 5 unsur (kayu, api, air, tanah, dan logam), dan dipercaya sebagai penangkal segala penyakit.
- Koinobori hitam (magoi)
- Koinobori berwarna hitam yang melambangkan ayah dikibarkan di bawah fukinagashi.
- Koinobori merah (higoi) dan koinobori warna lainnya
- Koinobori lain yang berukuran lebih kecil dikibarkan di bawah koinobori merah. Pada zaman sekarang, koinobori merah melambangkan ibu, koinobori biru melambangkan putra sulung, dan koinobori hijau melambangkan putra kedua.
Asal usul
Dalam Buku Han Akhir (Hou Han Shu) yang merupakan salah satu dari buku sejarah resmi Cina (Sejarah Dua Puluh Empat Dinasti) dikisahkan tentang sebuah air terjun di sungai Sungai Kuning yang alirannya deras. Ikan-ikan berusaha keras memanjat air terjun, namun hanya koi yang berhasil memanjat air terjun dan berubah menjadi naga. Oleh karena itu, koi yang berhasil menaiki air terjun dijadikan simbol kesuksesan dalam hidup.Tradisi pengibaran koinobori di halaman rumah dimulai oleh kalangan samurai pada pertengahan zaman Edo. Mereka memiliki tradisi merayakan Tango no Sekku dengan memajang peralatan bela diri, seperti yoroi, kabuto, dan boneka samurai. Selain itu, mereka membuat koinobori dari kertas, kain, atau kain bekas yang dijahit dan digambari ikan koi. Koinobori dibuat agar bisa berkibar dan menggelembung bila tertiup angin.
Pada zaman sekarang sering dijumpai koinobori warna hijau dan oranye yang dimasudkan sebagai anak-anak koi. Di beberapa tempat di Jepang, koinobori bukan saja milik anak laki-laki. Koinobori yang melambangkan adanya anak perempuan dalam keluarga juga ingin ikut dikibarkan. Tersedianya koinobori warna cerah seperti oranye kemungkinan ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak perempuan.
Pada 1931, pencipta lagu Miyako Kondo menulis lagu berjudul "Koinobori". Dalam lirik lagu tersebut, koinobori yang besar dan berwarna hitam adalah bapak koi dan koinobori warna lain yang lebih kecil adalah anak-anak koi.[1] Konsep dari lirik lagu tersebut diterima secara luas di tengah rakyat yang sedang di bawah pemerintahan militer. Seusai Perang Dunia II, peran wanita makin penting, dan koinobori warna merah dipakai untuk melambangkan ibu koi. Satu set koinobori akhirnya secara lengkap melambangkan keluarga yang utuh: bapak, ibu, dan putra-putrinya. Hingga kini, lagu "Koinobori" ciptaan Miyako Kondo tetap dinyanyikan anak-anak, namun liriknya tetap sama seperti ketika diciptakan pada tahun 1931.
Berkibarnya koinobori sudah menjadi pemandangan langka di kota-kota besar di Jepang. Makin sedikitnya keluarga di Jepang yang memiliki anak kecil mungkin menjadi penyebabnya. Selain itu, penduduk kota besar tidak lagi tinggal di kompleks perumahan, melainkan di apartemen (mansion) yang tidak memiliki halaman untuk mengibarkan koinobori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar